All Interested Me
Suriah kuno

Tingginya peradaban, kemajuan pertanian, dan perdagangan di kawasan Suriah Kuno (yang meliputi Jordan, Israel, Lebanon, dan Suriah modern) pada masa-masa sebelum tahun Masehi tergambar pada peninggalan yang tersebar di berbagai pelosok negeri. Tak heran jika wilayah ini dikenal sebagai salah satu dari 15 lokasi yang menjadi tempat asal muasal peradaban manusia (cradle of civilization). Para ahli purbakala menyatakan bahwa Suriah merupakan salah satu dari beberapa pusat peradaban yang paling tua di muka bumi ini. Mereka mendasarkan pada hasil temuannya berupa tulisan purba pada lembaran-lembaran batu yang terbuat dari tanah liat. Batu prasasti ini mengungkapkan adanya dokumen purba yang dibuat pada zaman kerajaan Ebla pada milenium ke-3 sampai ke-2 SM.

Di bekas istana raja Ebla juga ditemukan tempat penyimpanan dokumen yang dianggap paling besar dan paling komprehensif pada zamannya. Di perpustakaan tersebut tersimpan lebih dari 17.000 batu prasasti yang mencatat masa-masa penting dalam sejarah Suriah. Kerajaan kuno lainnya adalah Mari, sebuah kerajaan yang terletak di tepi barat sungai Euphrates. Kerajaan ini pada sekitar tahun 3000-an menjadi pusat pertemuan utama antara kerajaan-kerajaan yang berbasis pada pemanfaatan irigasi dua sungai (Tigris dan Euphrates). Penggalian para arkeolog menemukan adanya sisa-sisa istana seluas 2,5 hektar dan mempunyai 275 ruangan, dengan perpustakaan besar yang berisi berbagai dokumen purba yang tertuang pada ribuan lembar batu-batu prasasti. Kedua kerajaan itu bertahan hingga 1000 tahun dan berhasil melakukan pengembangan kebudayaan dan peningkatan perdagangan.

Sekitar tahun 1600 – 1200 SM, Suriah Kuno menjadi ajang rebutan bangsa Hittites dari Anatolia dengan bangsa Mesir. Pada periode-periode selanjutnya, wilayah Suriah Kuno berturut-turut dikuasai oleh kekaisaran Punisia, Aramean, Asyria, Babilonia, dan Persia, serta Alexander Yang Agung dari Macedonia. Pada tahun 635 M. kaum Arab Muslim berhasil merebut Suriah dari Kekaisaran Bizantium (Romawi Timur) dan dilanjutkan dengan kekuasaan Dinasti Umawi pada tahun 661 – 750 M. Dinasti Umawi mulai berkembang ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib terbunuh dan selanjutnya Muawiya, mantan Gubernur Suriah di era kekuasaan Khalifah Ali, mengambil alih kekuasaan dan menjadikan Damaskus sebagai ibu kota pemerintahannya. Setelah runtuhnya Dinasti Umawi, sampai akhir abad ke-15 Suriah berkali-kali mengalami pergantian penguasa dari Arab Muslim, Tentara Salib, Mongol, serta Mamluk. Pada tahun 1516 Suriah menjadi bagian Kekaisaran Ottoman Turki sampai pada tahun 1920, dimana Suriah (bersama Lebanon) diserahkan menjadi daerah mandat Perancis ketika Kekaisaran Turki terpecah-pecah akibat kalah dalam Perang Dunia I.

Suriah moderen

Pada bulan April 1946 Perancis meninggalkan Suriah. Pada masa kemerdekaan, rakyat Suriah tidak dapat langsung menikmati kemakmurannya, karena terjadinya instabilitas politik dan kudeta di dalam negeri serta berbagai peperangan dengan negara sekitar. Ketidak-stabilan politik ini membuat Suriah pada tahun 1958 memutuskan untuk bergabung dengan Mesir dan membentuk Republik Persatuan Arab. Pada tahun 1961 keduanya sepakat untuk memisahkan diri dan Suriah kembali menjadi sebuah negara tersendiri dengan nama Republik Arab Suriah. Pada bulan Nopember 1970, Hafez Al-Assad, seorang anggota Partai Sosialis Baath, mengambil kekuasaan melalui kudeta tidak berdarah dan berupaya untuk menciptakan stabilitas politik di dalam negeri.

Sejak kematian Hafez Al-Assad pada tahun 2000, puteranya, Bashar Al-Assad, diangkat sebagai Presiden melalui referendum. Meskipun pada masa kekuasaan Presiden Hafez Al-Assad, Pemerintah Suriah berupaya untuk mengurangi pengawasannya terhadap kehidupan perekonomian negara, namun pada prakteknya monopoli pemerintah masih sangat kuat. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, mulai tahun 2000 Pemerintah Suriah berupaya untuk melakukan reformasi dan liberalisasi, dengan mengadakan perubahan dari sistem ekonomi sentralistis ke arah ekonomi pasar. Upaya tersebut dilaksanakan melalui berbagai paket kebijakan dan deregulasi di bidang investasi, keuangan, dan perbankan dengan mendorong keterlibatan kalangan swasta.

Pada tahun 2007, jumlah penduduk Suriah sekitar 19,75 juta orang, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,3%, utamanya ditopang dari hasil eksplorasi minyak bumi dan gas alam serta produk pertanian. Produksi minyak dan gas alam ini telah memberikan kontribusi sebesar 65% dari nilai ekspor Suriah. Disamping itu, produksi pengolahan lahan pertanian, mengalami kenaikan sebesar 50% dibandingkan tahun 1970. Sumbangan sektor ini sebesar 20% pada GDP dan menyerap 30% angkatan kerja serta menciptakan swasembada pangan secara nasional. Disamping produk sektor pertanian yang meliputi gandum, kapas, kentang, dan buah-buahan, Suriah juga telah berhasil meningkatkan produk peternakan unggas, sapi, dan biri-biri.

Disamping produk-produk utama tersebut, perekonomian Suriah juga digerakkan oleh sektor industri dengan produk utamanya: penyulingan minyak, tekstil, pengolahan makanan, dan bahan kimia. Sementara itu sektor industri kecil dan kerajinan tangan menyumbang melalui produk-produk sutera, kulit, dan gelas. Meskipun demikian, kontribusi sektor industri pada GDP Suriah kurang begitu produktif karena hanya menyumbang sebesar kurang dari 25%. Sebaliknya sektor jasa, terutama pariwisata, telah tumbuh dengan pesat dan mampu memberikan kontribusi lebih dari 50% dari GDP Suriah.

Hubungan dengan Indonesia

Suriah merupakan salah satu negara Arab yang pertama (bersama Mesir dan Lebanon) mengakui kemerdekaan Indonesia. Di fora internasional, kedua negara aktif melakukan konsultasi-konsultasi mengenai berbagai masalah dan saling mendukung terhadap pencalonan jabatan di berbagai organisasi internasional. Hanya saja, kedekatan hubungan politik ini belum berdampak pada hubungan ekonomi, walaupun berbagai perjanjian kerjasama di sektor ekonomi telah disetujui. Total volume perdagangan Indonesia – Suriah tahun 2007 mencapai US$.79,9 juta dengan surplus di pihak Indonesia, yang terdiri dari dari ekspor Indonesia sebesar US$.79,4 juta dan impornya dari Suriah sebesar US$.489.200 Komoditi ekspor non migas Indonesia terpenting ke Suriah a.l. produk ban dan asesori kendaraan, kakao, karet, kertas, palm oil, dan kayu lapis. Sedangkan impor Indonesia dari Suriah meliputi kapas, produk pertanian dan buah-buahan.

Untuk meningkatkan pemahaman pasar setempat akan produk Indonesia, Kedutaan Besar RI di Damaskus setiap tahun berpartisipasi pada “Damascus International Fair“ guna memperkenalkan produk-produk non migas andalan Indonesia. Damascus International Fair, yang biasanya diselenggarakan pada bulan Agustus – September, merupakan salah satu dari berbagai event bisnis tahunan. Pada beberapa tahun terakhir peserta pameran maupun jenis barang yang dipamerkan semakin berkembang, rata-rata setiap tahun lebih dari 1000 perusahaan lokal dan hampir 50 negara berpartisipasi dalam pameran ini. Banyak negara yang memanfaatkan event ini untuk menjaring sebanyak-banyaknya mitra bisnis setempat maupun yang berasal dari negara-negara Arab.

Negara-negara seperti Jerman, Italia, China, Iran, Turki, Korea Selatan, dan beberapa negara Timur Tengah melibatkan puluhan perusahaannya untuk ikut dalam berbagai pameran dagang di Suriah. Sedangkan Indonesia biasanya diwakili KBRI Damaskus dengan memamerkan produk-produk titipan dari beberapa perusahaan di Indonesia, seperti ban, gelas, baterai, kain, minyak goreng, dsb. Belum banyak perusahaan Indonesia yang memanfaatkan peluang pameran ini, meskipun hanya dengan mengirimkan contoh produknya kepada KBRI Damaskus.



0 Responses

Posting Komentar